JUNAIDI BIN JABA: Tanah Rantau Sukseskan Jalan Hidupnya

Oleh: AGUS MARDI /MEDPROM KONI SUMBAR
Senin, 25 Juni 2012
JUNAIDI BIN JABA: Tanah Rantau Sukseskan Jalan Hidupnya
JUNAIDI BIN JABA: Tanah Rantau Sukseskan Jalan Hidupnya

JUNAIDI BIN JABA
Tanah Rantau Sukseskan Jalan Hidupnya

Jika diingatnya lagi, rasanya susah dipercaya kalau puluhan tahun silam, ia adalah seorang anak tamatan SD, masih bercelana pendek, harus merantau karena kondisi keluarga yang serba kekurangan. Padahal orang tuanya sangat berat melepaskan. Dengan air mata sang ayah Jaafar mengantar kepergiannya dari pintu rumah gubuk mereka di Padang Sibusuk, kota Sawahlunto.

“Saya ingat betul bagaimana wajah bapak dan ibu saya saat itu. Beliau sangat sedih, bahkan menitikkan air mata. Saya ikut menangis. Tapi saya sudah bertekad merantau untuk mengubah kehidupan kami,” ungkap Junaidi bin Jaaba (57), kepada www.konisumbar.com, mengawali kisahnya.

Diwawancarai di Kuala Lumpue , Junaidi tampak sangat bersahaja. Tak terlihat ia sebagai seorang pengusaha yang sukses memiliki 6 restoran besar dan dua toko tekstil di di Kualalumpur. “Saya menghadiri pernikahan anak Pak Mukhlis Mukhtar, teman saya. Jika ke Kualalumpur, mereka sekeluarga pasti ke tempat saya. Kami cukup dekat,” katanya.

Diakui Junaidi, yang akrab disapa Midi, setiap bulan, setidaknya sekali, kadang lebih, ia datang ke Padang untuk menyelesaikan pembayaran bumbu-bumbu masak yang diambilnya dari Bukittinggi. Saban Lebaran, ia juga pulang ke Padang Sibusuk. Ia tak pernah melupakan tanah kelahirannya itu. Bahkan ratusan anak-anak putus sekolah yang pengangguran diajaknya ke Malaysia, bekerja bersamanya.

Tekad Merantau
Sebagai pemilik Restoran Sari Ratu Khas Masakan Minang di Malaysia, dengan 6 cabang, ia memang sukses. Tetapi seperti diceritakannya, kesuksesan itu tak datang serta merta dari langit. Banyak kisah pahit dilaluinya, apalagi masa-masa pertama merantau, saat berusia 13 tahun, tanpa apa-apa. Malah ketika sudah berjayapun, saat krisis moneter, usahanya sempat ambruk. Tapi modal tekad dan kerja keras, ia berhasil membangun kembali usahanya.

“Saya merantau karena melihat orang-orang di kampong kami banyak merantau dan bisa berhasil. Ada saudara dekat kami merantau ke Jambi, sukses, bisa menyekolahkan adik-adiknya. Tapi dia berangkat dari kampong sudah tamat SMA. Saya termotivasi dari mereka. Padahal ibu saya keberatan. Soalnya saya masih sangat kecil, bercelana pendek. Dari seluruh desa di Sawahlunto itu, mungkin cuma saya yang merantau bercelana pendek,” katanya seraya tertawa. Ia merasa lucu, mengingat tubuhnya yang kurus, kecil, bercelana pendek, punya keinginan pergi dari rumah.

Kenapa tidak? Hidup di kampong saat itu sangatlah sulit. Dari penghasilan ayahnya Jaafar yang bekerja sebagai petani menggarap sawah orang, hidup Midi dengan 3 saudara laki-laki lainnya terasa pahit. Menambah belanja, sejak kelas 4 SD, Midi mengambil upah menggembala sapi milik tetangganya. Siap menggembala sapi, ia mencari kayu api untuk tungku di rumah.

Dorongan lebih kuat merantau itu, selain untuk mengubah kehidupan, ia pesimis bisa sekolah. Kalaupun otaknya encer, tanpa biaya, juga tak bisa sekolah tinggi. Apalagi di kampungnya, kebanyakan orang berpikir matrealis. Bagi yang hidup susah, tak banyak yang menghampiri.

Meski sudah bertekad merantau, ia tak memilih Jambi seperti yang dilakukan saudaranya. Ia malah belum berpikir akan ke mana. Hanya saja kala itu ia pernah mendengar dari cerita ayahnya, kalau ingin belajar dagang, lebih baik dengan orang Cina. Makanya ia memutuskan ke Riau. Disana, banyak daerah kepulauan yang didominasi orang Cina. Pergilah Midi kecil ke Pekanbaru, menumpang dengan familinya. “Saya cuma menumpang tidur, karena saya tahu, kehidupan mereka juga susah. Saya tidak mau menyusahkan mereka yang sudah susah,” katanya.
Dua minggu ia di Pekan baru, tidak bekerja. Hidupnya hanya dari belas kasihan orang.

Sepertinya Midi kecil tak memperoleh harapan disana, dan berangkat ke Dumai. Disana, ada orang kampungnya bekerja di Kejaksaan. Ke sanalah ia menuju. Sama seperti sebelumnya, ia tak ingin menyusahkan orang lain, meski mereka termasuk orang mampu.
“Selama 10 hari saya di Dumai. Saya bekerja menolak gerobak penjual nasi ampera tanpa gaji, Cuma diberi makan. Saya juga tak melihat harapandi sini. Saya ingat kata-kata orang tua, belajar sama orang Cina. Saya putuskan ke Bangansiapi-api. Disana saya tahu banyak orang Cina berdagang,” jelasnya.

Semula, saudaranya itu keberatan. Mereka berpikir, Midi masih kecil, ada baiknya tinggal bersama mereka saja di Dumai. Kalau mereka makan, Midi juga bisa makan. Midi menolak. Sejak dari kampong ia sudah bertekad merantau, belajar berdagang dan harus sukses. Maka naiklah ia dengan fery ke Bagansiapi-api. Disini tak ada alamat atau saudara yang dituju. Hanya bekal untuk 5 hari dan uang ongkos yang diberi oleh saudaranya.

Makan Pisang Goreng Basi
Tak ada pilihan, Midi kecil tidur di kaki lima. Ada tempat menjual pisang goreng, dengan balai-balai sebagai alas tidur. Sementara untuk mandi dan cuci muka, ia pergi ke pasar atau masjid. Siang hari ia pergi ke pelabuhan melihat orang-orang membongkar ikan. Ada seorang toke Cina tampak sedang mengurus ikan-ikan yang datang dari kapal. Midi kecil menghampirinya, meminta pekerjaan.

“Orang itu tidak percaya, karena melihat badan saya kecil, bercelana pendek dan badan saya kurus.. Tapi saya tak putus asa. Makin tak boleh, tiap hari saya ke pelabuhan bantu-bantu. Hari ketiga, bekalan saya habis. Saya harus berusaha cari uang untuk makan,” tekadnya.

Hari itu tak ada lagi yang akan dimakan. Sepulang dari pelabuhan, Midi hanya bisa duduk termangu tak jauh dari tempat penjual pisang goreng dimana ia biasa tidur. Biasanya, orang itu mulai berjualan jam 4 sore sampai 7.30 malam. Tapi kala itu, masih jam 5 sore, hujan turun dengan derasnya. Saking derasnya hujan, tak ada orang datang membeli gorengannya. Semua goreng yang bersisa dibuang. “Mereka buang tak jauh dari tempat saya duduk. Saya cari plastic, saya ambil gorengnya. Ada pisang goreng, ubi dan godok-godok. Itulah yang saya makan, selama dua hari. Goreng yang sudah basi, sisa dibuang orang,” ujarnya pelan.

Alhamdulillah, ia tak sakit perut. Ia bersyukur masih bisa bertahan sementara ia tetap mendatangi pelabuhan untuk berharap bisa bekerja dari toke ikan. Hari kelima, ia dipanggil sang toke. Ia ingat namanya Peng Hok. Melihat Midi selama 5 hari terus di pelabuhan melihat orang bekerja, sesekali ikut membantu mereka, si toke mulai mempertimbangkannya. Ia diterima bekerja, memisahkan ikan-ikan yang besar dan kecil hasil tangkapan dari kapal. Midi sangat senang. Ia sama sekali tak memikirkan berapa akan digaji. Baginya, pekerjaan itu sangat bernilai. “Saya sampai sholat sunat tiga kali waktu itu. Karena sangat gembira. Tak bisa saya mengungkapkannya dengan kata-kata,” ujarnya perlahan.

Baru 6 hari bekerja, ia sudah diperbolehkan naik ke kapal, ikut ke Belawan, Pulau We dan pulau lainnya, menangkap ikan. Kala itu ia tak pernah berpikir soal gaji. Tiga bulan bekerja, ia dipanggil bosnya. “Ia lihat saya rajin, sungguh-sungguh bekerja. Ia bilang saya kan belum pernah terima gaji. Bagi saya, sudah dapat kerja, pengalaman dan makan, sudah lebih dari cukup. Tapi dia tak mau memakan hak saya. Dia berikan saya gaji selama 3 bulan itu. Kira-kira dinilai jumlah rupiah sekarang, ada satu juta dua ratus ribu. Saya sangat terharu.”

Begitu menerima gaji pertama yang ia tuju pertama kali adalah toko kain. Membeli kain sarung 3 buah, sajadah, dan kain putih 8 meter. Ia bungkus dengan rapi, dikirimkanlah lewat pos ke alamat orang tuanya di Padang Sibusuk. “Saya dengar cerita dari orang di kampung, saat menerima kiriman itu, orang tua saya langsung pingsan,” ucapnya.

Berangsur-angsur hidup Midi mulai membaik. Bulan ke empat bekerja, ia sudah disuruh mengantarkan ikan ke Singapore menggantikan pekerja lain yang dipindahkan ke bagian dalam. Midi, meski masih kecil, sudah bisa melakukan transaksi dengan relasi bosnya di Singapore. Saat itu,ia belum 15 tahun. Pengakuannya, sebelum 15 tahun, ia masih bercelana pendek. Geraknya mulai lincah. Hubungan dengan Singapore mulai terbuka. Iapun bertekad untuk mencoba hidup di negeri Singa itu. Midi mengajukan berhenti secara baik-baik kepada bosnya dengan alasan pulang kampong lantaran ayahnya sudah tua. Semula bosnya keberatan ia berhenti. Namun tekad sudah bulat, ia harus berubah,

“Setelah mengumpulkan tagihan di Singapore, saya serahkan sama bos, saya ajukan berhenti. Saya baru dua bulan menagih ke Singapore. Tapi karena ia baik, saya dikasih gaji untuk 3 bulan ditambah bonus tiga bulan. Jumlahnya lumayan. Saya betul-betul terharu. Ini dari hati kecil saya sekarang, kalau dia masih hidup, mungkin saya buatkan dia rumah. Karena dia adalah dewa penolong saya. Memang Allah yang memberi rezeki kita, Tuhan Maha Kaya, tetapi melalui kebaikan dia saya menerima kemudahan dan berkah,” paparnya.
Menyeberang ke Singapore

Meski masih belia, tidak melalui bangku sekolah, Midi telah menimba pengetahuan dari induk semangnya. Berbekal pengalaman dan pergaulan ia menyebrang ke Singapore. Selama bolak-balik membawa tangkapan ikan, ia sudah diberi paspor. Di Tanjungpinang, diubahnya status paspor itu menjadi pelancong.

Dunia dagang di negri tetangga itu sudah dipahaminya meski belum begitu banyak. Tak sukar baginya menyesuaikan diri dan mendapatkan pekerjaan. Ia langsung diterima bekerja di toko Tekstil milik orang Bombai. Pada awalnya ia hanya mengatur barang-barang dan packing di gudang, kemudian mengatur disain.

Semangat kerjanya memang luar biasa. Selain bekerja di toko itu, ia juga bekerja di dok, pelabuhan. “Pagi sampai jam 4 sore saya kerja di toko tekstil. Saya tidur sebentar, jam 8 malam saya ke pelabuhan bekerja di dok sampai jam 4 pagi. Saya tidur lagi sampai jam 8. Jam 9 nya saya ke toko. Begitulah hari-hari saya lalui. Pergaulan saya mulai banyak. Di sekitar toko tektsil itu ada orang Philipine, Thailand, Bangladesh dan Indonesia. Saya pelajari cara mereka berdagang,” ujarnya.

Mulanya, ia bekerja di dok atas tawaran seseorang. Tetapi kemudian diamatinya, sore-sore, ada beberapa orang yang mengantarkan tenaga kerja ke dok. Setiap tenaga kerja yang didapat, ia memperoleh 10 dolar Singapore. Ia berpikir, bekerja mencari tenaga kerja lebih banyak hasilnya dari pada bekerja di dok. Tak lama ia berhenti dan beralih profesi sebagai pencari tenaga kerja, sambil terus masuk kerja di toko tekstil.

“Waktu kerja di Dok itu saya belajar dari seorang Philipina. Saya kira orang Philipine lebih lincah berdagang. Ia sangat gesit mencari tenaga kerja. Lalu saya berhenti kerja di Dok, dan mencoba pula mencari tenaga kerja seperti yang dilakukan si Philipina. Kita cari orang India, Bangla Desh, Mianmar, Thailand, Indonesia. Sore �“sore saya gabung pula ke grup itu. Saya bisa mendapatkan 100 orang, saya sudah bisa dapat 1000 dollar.”.

Akan halnya di toko tekstil, karena kerjanya bagus, 2,5 tahun ia sudah dipercaya mengantarkan barang ke Korea. Di sana ia juga mengatur bunga-bunga dan motif untuk disain. Perjalanannya semakin panjang. Kadang 20 hari di Seoul, balik ke Singapore, kemudian ke Seoul lagi. Bahkan ia juga pergi ke Jepang.

Sebagai pekerja keras yang tekun, Midi tak merasa cepat puas. Dua tahun setelah memahami seluk beluk tekstil dengan tabungan yang dinilainya cukup, Midi minta berhenti untuk membuka usaha sendiri. Diutarakan niatnya pada bosnya, Mr Lal. Ternyata niatnya itu mendapat respon positif. Ia diberi pinjaman 2 kali sebanyak modal awal yang ia punya, pinjaman tanpa bunga. Usahanya memang tak langsung besar. Ia pun tidak menggunakan tenaga kerja banyak. Pengalamannya bekerja di perusahaan tekstil cukup menjadi bekal untuk menjalin hubungan dengan pengusaha di MoroPhilipina dan Upnyai Thailand.

Sempat Ambruk
Usaha Midi berkembang pesat. Sebagai anak muda yang penuh semangat, ia menerobos dunia usaha dengan pasti. Dalam waktu tak lama, pinjaman kepada Mr Lal sudah dikembalikannya. Midi kecil yang hanya bercelana pendek meninggalkan rumah itu telah menjadi pengusaha sukses. Orangtuanya Jaafar dan Baiyah sangat bangga. Mereka selalu berkomunikasi. Bahkan ketika pulang ke kampung, ia dijodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya, Midi tidak menolak.

18 tahun di Singapore, ia hijrah ke Kualalumpur. Kehidupan dunia yang serba ada, mulai dilakoninya. Tetapi Midi tak pernah lupa pada asal usulnya. Tangannya selalu terbuka membantu orang kampungnya. Jika ada pemuda putus sekolah dan pengangguran yang mau bekerja, ia dengan senang hati membawa mereka ke Kualalumpur.

Namun tak selamanya usaha itu mulus. Krisis moneter tahun 1997 memberi imbas kehancuran pada usaha yang telah dirintisnya dari nol. Ia mengaku khilaf telah mengambil deposit dengan rupiah. “Saya betul-betul hancur. Semuanya habis. Kalau pegawai pada masa tuanya ada pensiun. Sebagai bisnisman saya punya vice deposit mencapai 4 miliar, tapi dalam rupiah. Ketika krisis moneter, Suharto jatuh, rupiah drop. Bayangkan dari jumlah itu saya hanya punya 92 ribu dollar US. Padahal sebelumnya nilainya ada 400.000 dollar US.,” ucapnya. Ia lebih banyak introspeksi diri.Ia berpikir, mungkin zakatnya belum cukup.

Meski hancur, Midi tak patah arang. Sesaat ia memang down, tapi naluri bisnis yang sudah mengalir dalam darahnya tak ikut habis. Ia mulai berusaha bangkit. Syukurnya saat jatuh itu ia tak punya hutang. Diakuinya peluang untuk berhutang sebenarnya sangat terbuka, karena banyak orang sudah percaya padanya. Midi berprinsip, hutang dapat mempersulit usaha. Ternyata saat jatuh itu ia sangat terbantu karena tanpa hutang.

Sambil terus membenahi usaha tekstilnya, Midi merintis bisnis restoran sebagai alternatif. Ia mencari mitra dan melakukan joint venture dengan pengusaha di Jawa membuka restoran Sari Ratu di Kualalumpur tahun 2000. ”Saya tertarik pada restoran karena bisnis ini uangnya cepat berputar dan cash, Alhamdulillah sekarang sudah ada 6 cabang di Malaysia,” alasnya.

Terbiasa kerja keras dan ulet, meski sudah down, ia cepat bangkit. Kegagalan tak membuatnya patah hati. Dalam waktu tak begitu lama restonya berkembang. Saban hari pengunjung restorannya yang didisain untuk kelas menengah ke atas, mencapai ribuan. Kebanyakan pejabat dari Sumatera Barat bahkan dari seluruh Indonesia yang berkunjung ke Malaysia, sudah pernah mampir ke restorannya. Tak jarang, ia menawarkan pejabat atau tamu penting dari kampungnya itu menginap di rumahnya.

Kecintaannya pada tanah leluhurnya tak pernah pudar, meski sudah sukses. Memiliki sejumlah usaha yang maju, beberapa rumah di Malaysia dan Jakarta, tetapi Midi tak mau mengganti warganegaranya. Laki-laki kelahiran 21 April 1953 ini tetap memilih menjadi orang Indonesia, dengan tanah leluhurnya Padangsibusuk Sawahlunto.

Setelah usaha maju apa lagi? Midi yang gigih masih mau membuka kafe. Ia sudah meencang disain dan mempesiapkannya. Tak lama lagi akan dibuka Kopi Tyam, di kota taman sahara. Rencananya juga akan buka franchisenya di Jakarta.

Menjalani hidup dalam kecukupan, Midi masih menyimpan kekecewaan. Pasalnya, tak satu anakpun mengikut jejaknya. ”Kerugian saya banyak. Tak ada ada anak yang mau ikut jejak saya. Mereka memilih hidup sendiri. Ada yang kerja di bank, ada yang pramugara. Pernah suatu kali saya tawari anak yang kerja di bank itu untuk berhenti. Saya janjikan gaji dua kali lipat, tapi dia tak mau. Yang pramugara itupun tidak mau ikut usaha saya. Baru baru ini dia berhenti jadi pramugara, tapi malah ambil kuliah lagi di Melaka ambil multimedia. Ada satu yang tertarik bisnis, tapi malah di bidang kecantikan. Saya bersyukur, anak-anak saya semua berpendidikan, tidak seperti bapaknya yang cuma tamat SD,” ucapnya seraya tertawa. Ia memang selalu wanti-wanti kepada anak-anaknya, agar tak seperti ayah nya yang tidak sekolahan atau neneknya. Mereka harus bisa menjalani pendidikan ke jenjang yang jauh lebih tinggi sesuai dengan kemampuannya.

Kendati tamat SD, Midi tak pernah malu. Ia juga tak malu punya ibu yang buta huruf dan ayah yang seorang petani. Sekalipun usahanya sudah sukses dan mampu menghidupi orang tuanya dikampung, sang ayah Jaafar masih tetap mencangkul menggarap sawah orang. Sayangnya, si ayah meninggal, tak sempat menyaksikan kesuksesannya. Midi juga menyesal tak sempat memberangkatkan orang tuanya ke tanah suci. ”Ibu saya masih bisa menikmati hasil usaha saya. Saya buatkan rumah di kampung. Tapi hanya 3 bulan menikmati rumah baru, ibu meninggal. Tuhan sayang sama beliau. Padahal saya sudah daftarkan untuk menunaikan ibadah haji bersama saya dari Kualalumpur. Cuma ibu keburu pergi,” ujarnya datar

Share on:

Artikel lainnya

Komentar

Kirim Komentar

Nama Lengkap
Alamat/Kota
E-mail
URL Website/Blog
Komentar